Sekitar dua tahun lalu, teknologi virtual reality (VR) mendapat sorotan luas karena dianggap sebagai teknologi masa depan. Namun predikat itu tak bertahan lama. Popularitasnya memudar lantaran minim inovasi baru.
Ada beberapa kendala yang menyebabkan VR sulit membumi ke konsumen. Pertama, barangnya sudah didapat. Kedua, harga unitnya terlampau mahal untuk dibeli orang banyak.
Kendati demikian, mereka yang terjun di industri merasa posisi VR sudah relatif lebih aman. Ia dianggap sudah melewati masa paling kritisnya.
![]() |
Industri VR masih lebih maju dari augmented reality (AR), machine learning, hingga blockchain. Studi itu sekaligus menandakan kematangan industri VR mulai terbentuk.
OmniVR adalah satu dari sedikit perusahaan yang mencoba perutungannya di teknologi VR. Usaha mereka merentang dari pencipta konten VR hingga penyedia rental VR.
Keputusan OmniVR mengomersialkan VR di Indonesia memancing kernyit dahi. Jangankan di Indonesia, penikmat VR di sini dunia pun sangat terbatas. Amerika Serikat dan Jepang dianggap sebagai dua negara yang cukup subur tempat VR untuk teknologi hiburan berkembang.
CEO OmniVR, Nico Alyus, mewajarkan anggapan seperti itu. Akses yang sulit dan harga unit VR yang bisa belasan juta adalah kendala berbisnis VR.
"Wajar banget sih kalau orang-orang yang awam, enggak kenal VR, enggak riset, dan enggak masuk di dalam industrinya, menganggap bahwa VR itu sudah hampir tiada," kata Nico saat diteui di bilangan Tanjung Duren, Kamis (25/1).
![]() |
Ada cara yang dipakai OmniVR untuk mengakali kendala di pasar yakni membuat usaha rental VR. Bayangkan gelombang pertama demam PlayStation yang ditandai oleh menjamurnya rental. Secara sederhana, langkah itu diikuti oleh OmniVR agar publik bisa menikmati VR.
Setelah mengakuisisi dua perusahaan lain, OmniVR kini memiliki 'gerai rental' bernama Mainvrame di beberapa pusat perbelanjaan. Mereka mematok harga Rp50.000 untuk setiap 15 menit bermain dan Rp100.000 untuk 30 menit. Mereka berniat membuka tempat di kota-kota lain seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Masih Berat
Ia memprediksi butuh sekitar sepuluh tahun sampai teknologi itu benar-benar diterima masyarakat seperti halnya ponsel cerdas.
Untuk satu gerai Mainvrame misalnya, Nico memperkirakan investasi yang mereka gelontorkan berkisar di angka Rp200 juta hingga Rp300 juta.
"Sebenarnya enggak mahal-mahal amat, tapi itu harus ditambah uang sewa, operator, listrik, kebersihan," imbuhnya.
![]() Untuk pengalaman VR lebih fantastis, smartphone semata tak cukup. Perlu perangkat komputasi lebih mumpuni seperti konsol game hingga komputer (REUTERS/Lucy Nicholson) |
Prime yang baru diakuisisi oleh OmniVR mengaku berani melangkah ke bisnis VR karena memang sepi pemain. Berawal dari tugas kuliah, William, pendiri Prime, tak menyangka simulator mobil balap buatannya bisa bermuara ke bisnis VR.
"Enggak pernah kebayang tuh gimana cara gabungin robotik, solder, ke industri game. Dengan adanya VR ini justru membuka (kesempatan) banget," ujar William.
Kendati demikian, OmniVR yang baru berdiri pada 2016 lalu, sudah balik modal. Menurut mereka minat masyarakat cukup bagus meski tak merinci seberapa besar jumlah transaksinya. Rata-rata pelanggan mereka adalah usia dewasa muda.
(eks) Read Again https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180125180607-185-271600/langkah-berat-bisnis-virtual-reality-di-indonesiaBagikan Berita Ini
0 Response to "Langkah Berat Bisnis Virtual Reality di Indonesia"
Post a Comment